Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

#3 RISET SEBELUM MENULIS - AHMAD RIFA'I RIF'AN

Melanjutkan materi sebelumnya. Kita review lagi ya, saya kemarin menyampaikan bahwa ada 4 tahapan dalam menulis buku:

1. Pre-Writing ( Ide, riset, outline)
2. Drafting dan Writing ( Tahap penulisan, detail paragraf)
3. Editing ( Pemeriksaan aksara)
4. Publishing ( Penerbitan karya)

Tentang cara menemukan dan menentukan ide sudah kita bahas kemarin. Pagi ini kita melanjutkan materi berikutnya, yakni teknik riset atau mencari referensi sebagai bekal kita dalam menulis.

Untuk teknik riset, saya buatkan 2 materi. Pertama, menjelaskan tentang riset itu sendiri. Kedua, saya ingin menjawab pertanyaan dari beberapa teman di sini, apakah kita juga perlu melakukan riset saat mau nulis buku fiksi (novel atau cerpen), padahal buku fiksi kan cuma khayalan atau imajinasi? 

Maka materi pagi ini saya beri judul, RISET SEBELUM NULIS dan PERLUKAH RISET UNTUK FIKSI?

RISET SEBELUM NULIS 

Kali ini kita akan membahas tentang bagian kedua dari pre-writing, yakni malakukan riset. 

Riset itu apa sih?

Sebenarnya pengertian riset dalam menulis tidak jauh beda dengan istilah riset yang kita kenal selama ini. Dalam menulis, riset adalah penelitian atau pengkajian data. Jadi, setelah kita punya ide, maka kita mulai mencari sebanyak mungkin referensi, literatur, atau bahan sebagai bekal untuk menulis dan memperkaya data tulisan kita nantinya. 

Yang paling banyak terjadi, pada tahap riset inilah yang menjadi titik lemah dari penulis. Banyak banget penulis yang malas dalam mencari data dan referensi. Padahal dari riset inilah yang menentukan kesegaran ide kita, kekuatan data yang kita tampilkan, serta validitas dari materi yang kita sajikan. 

Sebenarnya tema buku apapun yang mau kita tulis, dulu pasti sudah ada penulis lain yang sudah menuliskannya. Yang membedakan karya kita dengan karya penulis lain adalah kekayaan dari referensi yang kita riset. Makin banyak referensi yang kita miliki, makin mudah kita menulis naskah, makin kuat data yang kita hadirkan, dan pembaca pun lebih banyak mendapatkan manfaat dari bacaan yang kita tuliskan. Banyaknya referensi yang membuat tulisan kita penuh gizi. Bukan sekadar omong kosong tanpa data. 

Inti dari riset adalah mencari sebanyak mungkin bahan sebagai modal dasar untuk menulis. Maka riset bisa dilakukan dengan beberapa cara: 

1. Wawancara 
2. Pengalaman pribadi 
3. Hasil survey, penelitian, jurnal
4. Studi kepustakaan (baca buku lain) 
5. Studi lapangan 
6. Dll 

Mari kita bahas secara singkat satu per satu.

 1. Wawancara 

Jika kita hendak menulis buku tentang pengalaman orang lain untuk diambil pelajaran, maka teknik wawancara adalah yang utama. Misalnya ada buku bestseller karya Rheinald Kasali yang berjudul Wirausaha Muda Mandiri, buku ini data utamanya adalah wawancara dengan para juara kompetisi bisnis yang diadakan oleh Bank Mandiri beberapa tahun yang lalu. Atau buku best sellernya Asma Nadia yang berjudul Catatan Hati Seorang Istri, buku ini pun berdasar pengalaman dari beberapa istri yang mengalami masalah dalam rumah tangganya. 

 2. Pengalaman Pribadi 

Riset bisa dilakukan dari pengalaman pribadi. Saya sempat menulis buku berjudul Akhirnya Kita Menikah. Buku ini adalah diary saya dan istri berdasarkan pengalaman setahun pertama pernikahan. Tentang sederhananya akad nikah kami, tentang jodoh kami yg ternyata kawan SMP, tentang kontrakan pertama kami, tentang kegalauan menanti buah hati yang tak kunjung hadir, dll. Jadi satu buku referensi utamanya hanya pengalaman diri. 

 3. Hasil survey, penelitian, atau jurnal 

Sudah baca buku-bukunya Ippho Santosa? Buku beliau sangat kaya data penelitian terbaru. Meskipun bukunya adalah motivasi, tetapi dilengkapi dengan data penelitian untuk memperkuat teori yg disampaikan. Atau saat saya menulis buku Menikahlah Sebelum 30 Tahun, benar ini buku motivasi nikah muda, tetapi saya tidak asal berteori. Karena yg saya gunakan adalah beberapa data riset tentang manfaat nikah di usia sebelum 30 tahun, baik manfaat emosional, psikologis, maupun kesehatan. 

 4. Studi Kepustakaan 

Mengapa orang yg hobi membaca itu lebih menguntungkan saat menulis? Karena jika kita sudah hobi baca, saat hendak menyusun buku, kita sudah melangkah lebih jauh karena pengetahuan yg hendak kita share berasal dari stokpengetahuan yg sudah kita miliki. Kondisi tersebut sangat mempercepat proses menulis karena kita tidak perlu lagi mencari banyak referensi. Data-data sudah terekam di kepalanya. Atau jika ada yg terlupa, proses mengingatnya lebih mudah sebab sudah pernah membacanya. 

 5. Studi Lapangan 

Pernah membaca buku tentang traveling? Atau membaca buku tentang wisata kuliner? Terjun langsung ke lapangan tentu membuat tulisan kita lebih valid, original, dan menarik bagi pembaca. Bahkan jangankan menulis buku non fiksi yg basis datanya harus valid dan kuat, bahkan beberapa penulis fiksi seperti novel atau cerpen saja, banyak yg memutuskan untuk studi lapangan langsung untuk menguatkan data di novelnya. Padahal novel adalah karya fiksi, data fiktif pun sebenarnya tidak masalah. Namun nyatanya, sebagian penulis serius mendalami riset lapangan demi membuat cerita di novelnya seolah-olah sangat nyata. 

Misalnya Dee (Dewi Lestari) saat menulis novel Aroma Karsa, ia studi lapangan langsung ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang, Bekasi. Tere Liye menulis 1 novel hanya 3-4 minggu. Yg lama adalah proses risetnya. Ia bisa menghabiskan waktu 3-6 bulan hanya untuk riset. 

Mungkin kita bertanya, "Kok sampai segitunya?" Begitulah, novel2 yg dibuat sangat serius, insyaallah lebih mengena ke pembaca. 

Saran saya, jangan malas untuk riset panjang sebelum menulis. Karena kemalasan dalam riset yg membuat buku kita biasa-biasa saja. Mari susah-susah di awal, demi menghadirkan karya bergizi bagi pembaca.

PERLUKAH RISET UNTUK FIKSI? 

Tidak sedikit yang bertanya, "Saya kan menulis novel, apakah saya juga butuh mencari referensi sebelum menulis? Padahal novel 'kan karya fiksi, ngapain saya repot-repot mencari referensi?"

Mari kita jawab pertanyaan ini pelan-pelan. Sebelumnya kita harus sepakati dulu, bahwa untuk karya non fiksi (buku motivasi, karya ilmiah, buku agama, biografi, ensiklopedia, buku pelajaran, dan sejenisnya) mencari referensi hukumnya wajib. Tidak boleh tidak. Karena buku nonfiksi harus terjamin keshahihannya. Kita gak boleh nulis dg asal. Harus punya dasar dan bisa mempertanggungjawabkan semua kata dan kalimat yg kita tuliskan.

Sedangkan untuk buku fiksi, mencari referensi hukumnya anjuran saja. Karena untuk karya fiksi (puisi, cerpen, novel, dongeng, dan sejenisnya) adalah karya imajinatif, khayalan, fiktif. Referensi hanya digunakan sebagai sarana agar cerita yang dibuat lebih logis dan seolah-olah cerita nyata. Sehingga saat pembaca menikmati karya fiksi yg kita buat, mereka seolah menyaksikan kejadian yg sebenarnya. Bukan khayalan. Penulis kadang merasa perlu untuk observasi ke lokasi tenpat kejadian cerita demi menghidupkan cerita di novelnya.

Nah, untuk membuat karya fiksi seolah nyata, maka ditambahkan bumbu-bumbu latar, tokoh, atau alur cerita yg sesuai dg aslinya. Misalnya kita ingin menulis tentang kisah cinta dua anak muda yg kejadiannya di Perang Dunia II. Maka untuk membuat kisah mereka seolah nyata, kita perlu mencari referensi sebanyak mungkin tentang kondisi sosial masa Perang Dunia II. Bagaimana kondisi masyarakatnya, negara mana saja yg terkena dampak, alat transportasinya apa saja, alat komunikasinya apa. 

Jangan sampai kita berkisah zaman Perang Dunia II, tetapi ada adegan posting status di Facebook, jadinya tidak logis, karena masa itu belum ada Fb. Dengan ditopang fakta dan data yg akurat, maka realita imajinatif yang disajikan pengarang dalam karya fiksinya tidak akan kehilangan logika. Dengan begitu cerita yang kita buat menjadi sangat meyakinkan. 

Mungkin Anda pernah membaca novel Da Vinci Code. Mengapa novel itu bisa menggemparkan dunia? Menurut saya, karena Dan Brown, penulisnya, mampu menyajikan karya fiksi yang nyaris seperti fakta. Bahkan saking kuatnya data dan fakta yg dijadikan latar dalam cerita itu, pembaca sampe dibuat bingung saat memilah, mana yg imajinasi, mana yg fakta. Tidak sedikit tokoh2 besar yg menentang hadirnya novel ini. Padahal ini jelas2 novel, yg notabene karya fiksi. Tetapi orang2 pada heboh dan meyakini bahwa Da Vinci Code adalah kisah nyata yg dinovelkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena penulisnya melakukan riset dg serius. Saya yakin Dan Brown menggunakan banyak sekali fakta2 yg didapat dari riset demi membuat novelnya seolah-olah nyata.

Kesimpulannya, riset untuk fiksi itu sangat penting. Dengan riset yg kita lakukan, cerita2 di dalam novel kita akan berjalan secara logis, tidak asal jadi. Karena jika kita menyajikan cerita yg tidak bisa diterima logika, meskipun itu novel yg imajinatif, sudah menjadi kecacatan dalam karya kita. 

Saya pernah membaca ungkapan yg mengatakan bahwa fiksi yang berhasil ketika dibaca akan terasa seperti nonfiksi. Dan nonfiksi yg berhasil saat dibaca akan terasa seperti fiksi.

Maksudnya bagaimana? Mari kita urai penjelasannya.

Kalimat pertama: Fiksi yg berhasil ketika dibaca akan terasa seperti nonfiksi. Maksud dari pernyataan itu adalah: Kalau kita membaca karya fiksi, saking kuatnya fakta yg kita jadikan latar cerita, pembaca seolah meyakini bahwa cerita ini nyata. Bukan imajinatif. 

Misal, saat membaca novel Laskar Pelangi, berapa banyak dari kita yg meyakini bahwa sosok Lintang itu nyata? Seorang yg sangat cerdas, tetapi karena kondisi keluarganya yg penuh keterbatasan, hingga terpaksa ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Saking kuatnya Andrea Hirata mengisahkan sosok Lintang, ia seolah benar2 ada. Pembaca ngefans dg sosok lintang yg di novelnya digambarkan sebgai sosok jenius dari pelosok Belitung. 

Lalu bagaimana penjelasan dari kalimat: nonfiksi yg berhasil ketika dibaca akan terasa seperti fiksi? Mungkin kita pernah membaca buku motivasi, buku renungan, atau buku agama, tetapi saat membacanya kita tidak bisa berhenti, karena saking menikmatinya. Kita membaca fakta-fakta, tetapi karena penyajiannya menarik, cara mengulasnya mengalir, seolah kita sedang membaca cerita dalam novel. Bikin candu, gak bisa berhenti sampai buku selesai.

Maka saran saya, saat hendak menulis buku nonfiksi, selain membaca buku lain sebagai referensi, sempatkan sesekali membaca cerpen atau novel. Buat apa? Untuk membuat tulisan kita ngalir.

Begitu pun sebaliknya, saat menulis fiksi, banyak2 membaca fakta-fakta yg berkaitan dg novel kita. Untuk apa? Agar kta bisa menghidupkan cerita, seolah-olah imajinasi kita nyata.

(Ahmad Rifa'i Rif'an, Griya Menulis Indonesia)
_______________________
SERI LENGKAP MATERI KEPENULISAN AHMAD RIFA'I RIF'AN
#1 MATERI KEPENULISAN AHMAD RIFA'I RIF'AN
#2 TEKNIK MENEMUKAN DAN MENENTUKAN IDE - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#3 RISET SEBELUM MENULIS - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#4 TIPS MEMBUAT OUTLINE - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#5 DRAFTING DAN WRITING - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#6 MACAM-MACAM TEKNIK MENULIS - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#7 MACAM-MACAM TEKNIK MENULIS 2 - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#8 TRIK MENYUSUN DAFTAR ISI YANG MENARIK - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#9 TAHAP EDITING - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#10 TAHAP PUBLISHING - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#11 BUKU BAGUS BELUM TENTU LARIS - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#12 ADA APA DENGAN PENERBIT INDIE? - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#13 ADA APA DENGAN PENERBIT INDIE? 2 - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#14 MENULIS BUKU DALAM 10 HARI - AHMAD RIFA'I RIF'AN
#15 Q & A TENTANG KEPENULISAN - AHMAD RIFA'I RIF'AN
Semoga Bermanfaat :)

Post a Comment for "#3 RISET SEBELUM MENULIS - AHMAD RIFA'I RIF'AN"