Perjalanan Pendidikan Wanda Bagian 1: Mimpi Lanjut Studi S2
Aku hanyalah seorang bocah desa, tumbuh di antara sawah yang hijau dan langit yang terbentang luas. Setiap langkahku diwarnai debu jalan tanah, dan setiap tawaku adalah melodi kehidupan pedesaan. Di desa, matahari terbit tampak seperti peluk hangat, dan malam menjelang terdengar nyanyian katak di sawah. Aku belajar dari bapak dan ibu tentang arti kesederhanaan, bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam senyum tetangga dan cerita di bawah pohon rindang. Desa adalah sekolah tanpa tembok, dan pelajaran hidup terukir dalam setiap petik gitar di malam hari. Aku hanya bocah desa, tetapi dalam setiap kepolosan itu, terkandung kebijaksanaan sederhana yang melibatkan hati dengan kedalaman kehidupan.
Hanya bocah desa, yang tidak jarang di dalam pikirannya selalu menanyakan, “kelak apa aku bisa melanjutkan studi S2 ya?”, “Apakah melanjutkan S2 menjadi kebutuhan dan kewajiban?”, “Seberapa besar urgensinya bagiku untuk perjalanan hidupku?”. Pertanyaan di dalam pikiran itu selalu hadir ketika aku masih menempuh studi S1 pendidikan biologi di salah satu Universitas. Aku sebut pikiran itu si cemas. Betul saja, ihwal cemas bagaikan bayangan yang tak terlihat, bisa menjadi pisau tajam yang merayap perlahan-lahan untuk membunuh kedamaian.
Ketika cemas menguasai pikiran, ia tidak hanya memayungi kesenangan, tetapi juga meracuni setiap momen dengan ketidakpastian yang tidak berdasar. Seperti angin topan yang tak terduga, cemas bisa menghancurkan fondasi kepercayaan diri dan merenggut keseimbangan emosional. Cemas yang terus-menerus, bagaikan beban yang tak terlalu terasa pada awalnya, dapat menjadi toksik yang merusak kesehatan mental dan fisik. Untuk membunuh cemas, kita perlu mengejar kebijaksanaan, menerima ketidakpastian sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan, dan menyadari bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh. Berangkat dari ingin membunuh rasa cemas, maka aku meyakini bahwa tidak akan mustahil ketika niat baik diberi jalan oleh si pembuat skenario terbaik.
Ya walaupun sempat menanyakan di dalam pikiran hehe “apa mimpiku mustahil untuk dicapai?”. Seolah melintasi reruntuhan khayalan dan kenyataan, mimpiku terasa seperti bunga yang tak pernah mekar. Setiap langkah menuju impianku terasa seperti perjalanan tak berujung, dan puncaknya nampak mustahil dicapai.
Namun, di dalam keraguan itu, terdapat kekuatan yang memaksa untuk terus melangkah. Mungkin mimpi itu terlihat seperti bayang-bayang yang menjauh, tetapi keinginan untuk mencapainya menjadi semacam petunjuk takdir. Dalam keheningan, mimpiku mungkin terdengar mustahil, namun di dalam keberanian dan tekad, setiap rintangan tampak sebagai ujian yang dapat diatasi. Mungkin perjalanan ini panjang dan berliku, tetapi keyakinan bahwa mimpi itu mungkin dicapai, membuka pintu untuk mengubah yang mustahil menjadi mungkin. Lanjut baca Bagian 2: Perempuan Berjiwa Malaikat
Baca juga bagian lainnya: Pengantar | Bagian 1: Mimpi Lanjut Studi S2 | Bagian 2: Perempuan Berjiwa Malaikat | Bagian 3: Jogja, I’m coming | Bagian 4: UNY Kampus Pendidikan Terbaik | Bagian 5: Hutang Karaokean yang Belum Terbayarkan | Bagian 6: Full Lampung – Jogja di dalam Bagasi | Bagian 7: Manusia over dosis, Terlampau Baik! | Bagian 8: Pelajaran Berharga dari Mas Pras | Bagian 9: Jogja Tidak Hanya Istimewa, Tetapi Juga Mempesona | Bagian 10: Toga Master dan Ungkapan Terimakasih.
Post a Comment for "Perjalanan Pendidikan Wanda Bagian 1: Mimpi Lanjut Studi S2"