Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Brain Rot dan Tantangan Teknologi: Saatnya UNY Hadir sebagai Penjaga Akal Sehat Digital

Pernah nggak sih kamu lagi niatnya cuma mau scroll TikTok atau Instagram reels lima menit aja buat cari hiburan, eh tahu-tahu udah dua jam lewat? Tangan terus geser ke atas, kepala ketawa-ketiwi lihat video random, tapi otak rasanya... kosong. Nggak ada satu pun video yang benar-benar nempel di ingatan. Semua cuma numpang lewat.

Saya pernah. Bahkan sering. Dan ternyata, saya nggak sendirian.

Sebagai alumni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang sekarang juga banyak berinteraksi dengan pelajar dan juga teman-teman pemuda di komunitas, saya mulai menyadari ada pola aneh yang muncul: makin banyak anak muda yang sulit fokus, cepat bosan, susah berpikir panjang, dan gampang banget terdistraksi. Bukan karena malas. Tapi karena otaknya kebanyakan "diisi" konten yang cuma menyenangkan sesaat, tapi nggak ninggalin makna. Dan salah satu pemuda itu adalah saya.

Fenomena ini sekarang populer disebut brain rot, istilah gaul buat menggambarkan kondisi ketika otak kita “keropos” karena terlalu sering terpapar informasi nggak penting atau hiburan instan yang terus-menerus. Awalnya saya kira ini cuma istilah bercanda di internet. Tapi lama-lama, kok kayaknya makin nyata, ya?

Bukan cuma soal kecanduan media sosial. Tapi lebih ke dampak yang lebih dalam: turunnya daya pikir, menurunnya minat baca, dan hilangnya kemampuan untuk menikmati proses belajar yang bermakna.

Sebagai orang yang pernah duduk di bangku UNY dan merasakan bagaimana kampus ini menanamkan semangat Tridarma Perguruan Tinggi, saya merasa ini jadi tantangan baru: bagaimana UNY dan kita semua bisa berperan dalam menjaga kesehatan pikiran generasi muda di tengah banjirnya konten digital?

Yuk, kita bahas bareng. Mulai dari apa itu brain rot, bagaimana pengaruhnya di kalangan pelajar, dan tentu saja… peran strategis UNY dalam menghadapi fenomena ini.

Apa Itu Brain Rot?

Istilah brain rot sebenarnya bukan istilah medis atau ilmiah. Ini lebih ke istilah budaya, semacam bahasa gaul internet buat menggambarkan kondisi mental saat otak terasa “keropos”. Bukan dalam arti fisik, tapi secara fungsi: susah mikir panjang, gampang terdistraksi, dan merasa “kosong” meski sudah konsumsi konten berjam-jam. Oxford University Pers mendefinisikan brain rot sebagai "kemunduran yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama jika dilihat sebagai akibat dari konsumsi berlebihan terhadap materi (sekarang terutama konten daring) yang dianggap remeh atau tidak menantang.

Biasanya, ini terjadi karena kita terlalu sering terpapar informasi yang nggak penting, dangkal, dan terus-menerus. Video 30 detik lucu, meme absurd, gosip seleb, potongan podcast penuh opini keras tapi minim data. Semua cepat, ringan, dan… menghibur banget. Tapi sayangnya, itu juga bikin otak kita terbiasa dengan hal-hal instan, sampai akhirnya kesulitan ketika harus membaca tulisan panjang, mendengarkan penjelasan serius, atau sekadar diam dan berpikir.

Di satu sisi, konten hiburan memang bukan musuh. Kita semua butuh istirahat. Tapi kalau setiap waktu kosong selalu kita isi dengan konten cepat saji, lama-lama kita lupa gimana rasanya berpikir pelan-pelan. Lalu esensi istirahatnya dimana?

Literasi Digital: Kunci Melawan Brain Rot

Kalau brain rot adalah “penyakit”nya, maka literasi digital adalah salah satu “obat” terbaiknya.

Tapi jangan buru-buru membayangkan literasi digital itu cuma soal bisa pakai laptop atau jago edit video ya. Literasi digital jauh lebih dalam. Menurut UNESCO, literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, dan mengevaluasi informasi secara kritis melalui teknologi digital.

Nah, ini yang sering luput.

Banyak dari kita terutama generasi muda tahu cara cari info lewat Google, tapi nggak tahu cara memilah. Terbiasa nonton video “ceramah” di TikTok, tapi nggak terbiasa memverifikasi. Bahkan merasa “tahu” hanya karena sempat lihat headline aja.

Fenomena ini berbahaya. Karena informasi digital itu seperti makanan cepat saji: gampang diakses, enak dikonsumsi, tapi bisa bikin “kolesterol intelektual” kalau dikonsumsi terus tanpa kontrol.

Pelajar dan Mahasiswa Butuh “Asupan” Literasi, Bukan Sekadar Wifi

Sebagai guru, saya lihat betul bagaimana siswa sekarang sangat aktif di dunia digital. Tapi sayangnya, aktivitas itu tidak selalu selaras dengan kualitas berpikir. Banyak yang pandai bikin konten, tapi kurang tajam dalam berpikir. Banyak yang jago edit video, tapi susah membedakan mana opini dan mana data.

Apalagi dengan perkembangan kecerdasan artifisial atau Artificial Intelegent (AI) yang semakin “gila” hari ini. Rata-rata mereka lihai menggunakan AI dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Tapi naasnya, hanya sedikit diantara mereka yang hanya butuh jawaban dan tidak memaknai itu sebagai pengetahuan. Bahkan tidak jarang saya sebagai guru memeriksa jawaban tugas siswa yang masih dalam bentuk format jawaban AI, saya yakin 100% jawaban itu langsung dikumpulkan tanpa proses dibaca ulang atau editing dan brainstorming. Kalau seperti itu, lalu dimana proses belajarnya?

Ini bukan salah mereka sepenuhnya. Sistem pendidikan kita masih sering menganggap literasi digital sebagai pelengkap, bukan pondasi. Padahal, di era banjir informasi, kemampuan ini seharusnya menjadi core skill. Saya sebagai guru merasa mempunyai tugas yang semakin besar tidak hanya fokus pada karakter dan hitung-hitungan matematika saja tetapi juga bagaimana anak-anak bisa memanfaatkan dengan bijak teknologi beserta apapun yang menyertainya. Tidak hanya guru, calon guru sebaiknya juga sudah dibekali soal ini. UNY sebagai salah satu kampus pendidikan terbaikpencetak calon guru memiliki peran krusial.

Bayangkan kalau sejak SMA atau kuliah, siswa dan mahasiswa terbiasa:

  • Memverifikasi sumber informasi sebelum percaya.
  • Menggunakan teknologi bukan cuma untuk hiburan, tapi juga produksi pengetahuan.
  • Mengkritisi algoritma media sosial dan menyadari bias informasi.
  • Menyusun opini yang kuat berdasarkan data, bukan hanya perasaan.

Ini bukan mimpi. Tapi bisa dimulai dari hal kecil. Dan saya yakin, kampus seperti UNY punya potensi jadi pelopornya.

Peran UNY dalam Meningkatkan Literasi Digital

Sebagai lembaga pendidikan yang berpegang pada Tridarma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta telah mengambil langkah nyata dalam menghadapi tantangan literasi digital. UNY tidak hanya berbicara soal pentingnya literasi digital, tetapi juga mewujudkannya dalam program-program konkret yang menyentuh mahasiswa, guru, dan masyarakat luas.

1. Pendidikan

UNY telah mulai menyisipkan aspek literasi digital dalam berbagai mata kuliah lintas program studi, tidak terbatas pada jurusan teknologi atau komunikasi. Melalui pendekatan lintas disiplin ini, mahasiswa dari berbagai latar belakang baik pendidikan, seni, ekonomi, maupun teknik didorong untuk memiliki kesadaran kritis terhadap arus informasi digital dan implikasinya. Pengalaman saya yang telah menempuh program studi S2 Pendidikan di UNY dosen-dosen telah memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Dosen juga mengingatkan untuk cerdas memilah dan memilih sumber bacaan dari internet.

2. Penelitian

Dosen dan mahasiswa UNY aktif melakukan riset-riset terkini terkait pengaruh media sosial, digitalisasi pembelajaran, hingga fenomena digital well-being. Hasil-hasil penelitian ini tidak berhenti di jurnal, tetapi menjadi rujukan dalam pengembangan kurikulum, bahan diskusi akademik, hingga rekomendasi kebijakan pendidikan. UNY juga telah menyelenggarakan seminar nasional dan internasional yang membahas dampak disinformasi dan strategi pendidikan kritis di era digital.

3. Pengabdian kepada Masyarakat

Melalui program pengabdian dosen, UNY rutin menggelar pelatihan literasi digital untuk guru, siswa, dan komunitas lokal, baik secara langsung maupun daring. Mahasiswa UNY terlibat sebagai fasilitator yang mengedukasi masyarakat dalam mengenali hoaks, memahami keamanan digital, dan memanfaatkan teknologi secara produktif. Dalam beberapa tahun terakhir, program-program ini telah menjangkau sekolah dan desa di berbagai wilayah DIY dan sekitarnya.

Dengan langkah-langkah nyata tersebut, UNY membuktikan komitmennya untuk tidak hanya menjadi pusat ilmu, tetapi juga garda depan dalam membangun masyarakat yang cakap digital dan tahan terhadap disinformasi. Literasi digital di UNY bukan sekadar wacana, melainkan budaya akademik yang terus dihidupi dan dikembangkan.

UNY Bisa Jadi Laboratorium Literasi Digital

UNY bukan hanya kampus pendidikan. Ia adalah tempat di mana calon-calon guru, peneliti, jurnalis, pebisnis, politikus, pegawai dan aktivis muda ditempa. Ini posisi strategis. Karena jika UNY serius mengarusutamakan literasi digital, dampaknya akan menyebar ke banyak sekolah, komunitas dan berbagai sektor di Indonesia.

Dulu waktu saya internship di Humas UNY, saya melihat langsung bagaimana konten-konten resmi kampus bisa dikemas dengan menarik dan tetap bernilai edukatif. Tapi potensinya jauh lebih besar dari itu.

UNY bisa:

  • Membuka kelas atau workshop literasi digital lintas prodi.
  • Melibatkan mahasiswa dalam proyek “fact-checking” berbasis komunitas.
  • Mengintegrasikan literasi digital ke dalam kuliah umum dan pelatihan guru.
  • Menyediakan platform berbasis kampus yang memberi ruang bagi narasi alternatif dan reflektif, bukan sekadar viral.

Kampus bisa jadi rumah peradaban digital. Tempat di mana mahasiswa nggak cuma “bermain” internet dan segala macam tentang teknologi, tapi bisa mengendalikan dan mengelolanya secara sehat.

Teknologi, ketika digunakan dengan bijak, bisa menjadi jembatan pendidikan yang luar biasa. Tapi tanpa panduan yang kuat, ia bisa berubah jadi jurang. Di kelas, saya melihat bagaimana siswa dengan mudah mengakses informasi lewat ponsel, tapi kesulitan menyaring yang penting dan membangun pemahaman mendalam.

Transformasi teknologi dalam pendidikan seharusnya bukan hanya soal alat dan aplikasi, tapi bagaimana mengarahkan penggunaannya agar tidak menjauhkan manusia dari proses berpikir.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Nggak semua orang bisa langsung menyulap sistem pendidikan. Tapi kita semua bisa mulai dari diri sendiri.

Kalau kamu seorang guru, ajak siswa berdiskusi soal dampak media sosial bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengajak mereka berpikir kritis.

Kalau kamu mahasiswa, refleksi dulu: informasi yang kamu konsumsi tiap hari itu mendewasakan atau malah mengeroposkan? Apakah waktumu habis untuk konten hiburan cepat, atau kamu juga memberi ruang bagi bacaan dan diskusi yang membangun

Kalau kamu orang tua, cobalah menjadi teladan dalam menggunakan gawai dengan memilah tontonan, membatasi waktu layar, dan membuka ruang komunikasi yang sehat dengan anak.

Kalau kamu masyarakat umum, jadilah penyebar informasi yang bertanggung jawab, bukan hanya yang cepat atau heboh. Tanyakan dulu sebelum membagikan: “Ini fakta atau sekadar sensasi?”

Dan kalau kamu bagian dari kampus terutama UNY mari mulai menjadikan literasi digital sebagai nafas baru dalam pendidikan.

Karena melawan brain rot bukan tentang memusuhi teknologi, tapi tentang menyeimbangkan antara akses dan refleksi. Teknologi bisa jadi jembatan untuk tumbuh, jika kita tahu cara menapakinya bersama.

Sebelum lanjut, yuk kenal lebih dekat dengan UNY dengan menyimak video berikut ini.

Menjaga Akal Sehat Digital Lewat Tridarma yang Relevan

Brain rot adalah alarm. Teknologi adalah tantangan. Tapi juga peluang.

Saya percaya, peran UNY melalui tri dharma perguruan tinggi bisa menjadi jawaban atas krisis ini. Di tangan kampus yang sadar akan dampak teknologi, pendidikan bukan sekadar gelar, tapi gerakan. Transformasi digital dalam pendidikan tidak harus menenggelamkan kita dalam lautan konten, tapi bisa menjadi jalan untuk menjaga nalar, membangun daya pikir, dan menciptakan masa depan yang lebih sadar. 

"Belajar bukan sekadar mengejar cepat atau sensasi viral. Ia adalah perjalanan jiwa, memahami, merenung, lalu perlahan tumbuh. Dan teknologi, bila bersemayam di tangan yang arif, menjadi suluh yang menuntun, bukan kilat yang mengaburkan. Di tangan UNY, dan kita semua yang sadar akan makna, teknologi menjelma cahaya untuk masa depan yang bijaksana."

Sumber bacaan:

  1. Website Universitas Negeri Yogyakarta
  2. Oxford University Pers
  3. Website UNESCO
  4. Scholarhub UNY
  5. Website Pemkab Gunung Kidul
  6. Website Pemkab Blora

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog UNY 2025 kategori umum. Karya ini original dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.

56 comments for "Brain Rot dan Tantangan Teknologi: Saatnya UNY Hadir sebagai Penjaga Akal Sehat Digital"

  1. Setuju, hidup di era digital yang dimudahkan dalam segala aspek informasi, terkadang membuat diri menjadi menyepelekan untuk memahami informasi secara detail

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Putri, kebiasaan apa-apa pengen cepet juga ya put. Padahal itu penting banget buat melatih diri buat mindful, meaningful dalam memahami informasi.

      Delete
  2. Sangat relate🫢🫢

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merasa terpanggil dan disebut dalam tulisan yak.. hehe

      Delete
  3. Tulisan yg menginspirasi dan menyadarkan kitaa, bahwa kita harus bangkit dari permasalahan brain rot untuk menjaga akal sehat dan sekolah, kampus dan pendidikan adalah salah satu fungsi yang harus hadir menjadi garda terdepan untuk membuka fikiran kita, salah satunya Website ini dan tulisan ini, sebagai upaya untuk membrantas brain rot dengan pengetahuan dan menyadarkan kita semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Banyak Pak Damsi, benar kadang kita kalau disuguhkan dengan informasi yang agak panjang bacaannya langsung skiming nyari intinya aja. Di waktu-waktu tertentua ada baiknya, tapi membaca informasi secara utuh kalau ada waktu jauh lebih baik.

      Delete
  4. Keren sih, materi yang disampaikan cukup bermanfaat bagi saya, karena saya sering melakukan hal yang seperti apa yang d tulis ini, relate... Brain rot, salah satu dampak perubahan karakter di kalangan pemuda dan penting nya pendidikan. Terutama pelaku akademisi yang memberikan contoh bagi generasi muda, untuk dapat memanfaatkan teknologi dengan baik dan bijak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah bener2. Guru, Dosen dan semua orang siapapun yang berpotensi untuk dicontoh berarti wajib ngasih teladan dengan bersikap cerdas dalam menggunakan teknologi ya mas. Terimakasih banyak remindernya.

      Delete
  5. Setuju dengan tulisannya, semua bermula dari refleksi terhadap diri sendiri degan begitu kampus akan menjadi rumah peradaban digital.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat banget. Refleksi emang harus jadi habit dalam hidupkita ya, disemua lini. termasuk jika kita menyoal penggunaan teknologi.

      Delete
  6. Seperti berkaca sama diri sendiri ya, di mana bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sosmed giliran baca buku belum 5 menit ngerasa bertele-tele karena terbiasa instan. Yuk mulai gunakan teknologi dengan bijak.
    Bacaan yg menarik dan ga bikin bosan.
    Thank you untuk penulis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi pengen banget punya rasa membaca buku seasik scrool medsos ya kak. Semoga kita sampai di titik itu. Terimakasih banyak kak.

      Delete
  7. Hal ini yg selalu saya pikirkan. Alhamdulillah sudah terwakilkan oleh tulisan ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah kita sepemikiran berarti. hehe. Terimakasih banyak kak.

      Delete
  8. Pembahasan yang bagus. Kita harus bijaksana dalam menggunakan teknologi digital.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih banyak kak. Siap, mari sama2 mengupayakan hal itu.

      Delete
  9. Peran teknologi memang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan kita saat ini. Oleh karena itu untuk para civitas pendidikan harus menyesuaikan akan perkembangan zaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau nggak adaptif jadi banyak kurangnya ya kak. Ya meskipun kalau berlebihan juga nggak baik juga.

      Delete
  10. Tulisan ini menyuguhkan pandangan yang menarik tentang tantangan yang dihadapi anak muda di era digital, terutama soal fenomena brain rot. Kondisi di mana otak jadi malas berpikir karena terlalu sering konsumsi konten dangkal. Dengan mendorong literasi digital dan peran aktif kampus seperti UNY, generasi muda bisa dibekali kemampuan untuk lebih kritis dan bijak dalam menghadapi arus informasi yang deras. Langkah-langkah yang disarankan pun bukan cuma cocok untuk UNY, tapi juga bisa diterapkan oleh kampus atau sekolah lain demi menjaga kesehatan mental dan daya pikir anak muda ke depan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wih, terimakasih banyak senior. Alumni UNY juga nih. hehe.

      Kesehatan mental dan daya pikir harus kita upayakan sama-sama agar tetap sehat lahir dan batin ya nda.

      Delete
  11. scrol tiktok keterusan sampe berjam jam kayanya udah lumrah banget di kalangan remaja skrg🥲🥲🥲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betulll banget. kalau emang gak jelas tujuannya semoga kita sama2 bertaubat dengan segera ya kak. huhu.

      Delete
  12. Fenomena Brain Rot ini perlu perhatian khusus, semoga dengan tulisan ini kita sebagai pengajar/pembimbing lebih sadsr dan mengarahkan siswa-siswa kita agar lebih bijak dalam menggunakan Teknologi, Terimakasih kepada Penulis,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rasa2nya perlu juga ada pendekatan pembelajaran yang fokusnya pada upaya meminimalisir atau mematikan brainroot ya.. Terimakasih kembali.

      Delete
  13. Saya setuju bahwa fenomena "brain rot" menjadi tantangan serius yang kerap tak disadari. Kita semakin terbiasa dengan konsumsi cepat dan kehilangan ketahanan untuk berpikir dalam dan panjang. Penekanan penulis pada pentingnya literasi digital yang tidak hanya teknis, tetapi juga kritis dan etis, sangat relevan dengan kondisi saat ini. Pendidikan harus menjadi ruang untuk mengasah kesadaran digital, bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi.

    ReplyDelete
  14. terima kasih kepada penulis, membaca blog ini memberikan informasi dan membuka pengetahuan bahwa literasi merupakan sarana efektif untuk mencegah kemunduran intelektual, membiasakan membaca, menulis, dan berpikir kritis membantu mempertajam nalar dan memperkuat daya pikir di tengah banjir informasi dangkal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kembali. Fenomena ini tentu menjadi tanggungjawab kita bersama. Mari kita berjuang bersama sesuai dengan peran dan tugas kita masing2.

      Delete
  15. Bacaan yang sangat relevan untuk pegiat pendidikan, terutama di tengah gempuran budaya digital dan media sosial. Pendekatan melalui ruang kelas dan lingkungan sekolah menjadi langkah konkret untuk merespons fenomena brainrot dengan menumbuhkan kesadaran serta literasi digital sejak dini. Semoga semakin tumbuh siswa/i yang kritis ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Aamiin. Semoga ya. Penting juga saya pikir kita semua untuk tidak menjadi generasi yang anti kritik, siap jika di kritisi. Bener banget ruang kelas dan lingkungan sekolah. Bisa juga kali ya bikin program2 yang gak hanya fokus ke fisik tapi mengasah daya nalar anak-anak.

      Delete
  16. Masyaallah. Tulisan yg sangat inspiratif. Brain rot menjadi problem yg tak bs kita hindari. Sebagai pendidik dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, sangat membutuhkan ilmu dari tulisan ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih banyak Mas Wandi Pak Guru keren Alumni FBSB UNY. Mari kita berjuang bersama-sama. Terus buat konten2 berbasis teks juga ya mas. biar dikonsumsi oleh banyak orang dan auto berpotensi buat mencegah brain rot ini.

      Delete
  17. Terima kasih kepada penulis, tulisan ini sangat relate, dan sangat menyadarkan saya untuk berubah dari kebiasan yg buruk.

    ReplyDelete
  18. Menurut saya relevansi kebutuhan lulusan (alumni) UNY terhadap fenomena di dunia kerja (pendidikan) harus selaras. Ide penulis (Mas Debi) dalam tulisannya kali ini menyoroti brain rot yang menyerang pengguna media sosial harus menjadi perhatian untuk kesehatan mental mahasiswa zaman sekarang. Jadi UNY secara inklusif perlu juga memperhatikan bagaimana menjaga kesehatan mental mahasiswa melalui beberapa rekomendasi yang diajukan penulis. Digital literacy merupakan alternatif yang pakemnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sejauh ini masyarakat kita masih lemah dalam merespons informasi dari media sosial. Tulisan yang sangat menarik untuk dibaca dan menginspirasi kami sebagai guru untuk turut serta berkontribusi dalam mengubah paradigma berpikir kritis di kalangan remaja yang rentan terpapar konten "receh". Semoga menjadi pembelajaran bermakna bagi kita semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. MasyaaAllah terimakasih banyak Pak Guru Edi teman sekelas saat di UNY atas komentarnya.

      Delete
  19. Tulisan yang dapat menjadi pelajaran bermakna di era digital yang sangat melekat dengan kehidupan, terimakasih penulis sudah membuka pemikiran ku untuk menggunakan teknologi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama Deb. mari saling mengingatkan dalam kebaikan.

      Delete
  20. Diawali dari data-data yang mengantarkan pada refleksi diri. "Bahwa intensitas membaca buku semakin kesini semakin sedikit" bisa jadi kurang bijak dalam mengelola masuknya informasi dari layar HP.🥲. Terimakasih sudah buat tulisan sebagus ini. Tidak hanya memaparkan fenomena yang menjadi masalah, tapi juga apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki. Habis baca jadi tenang, bukan malah overthinking, karena tau apa yang akan dilakukan kemudian 👍🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, proses membuat tulisan ini juga berjuta rasa banget. Syukur kalau bisa menenagkan. Semoga kita selalu ingat brain rot setiap harinya. mengingatkan diri dan orang-orang di sekitar kita ya... terimakasih banyak sudah membaca tulisanku ya.

      Delete
  21. Back to basic, kembalikan buku kepada anak"

    ReplyDelete
  22. Artikel yg sangat luar biasa, Sangat setuju dengan artikel ini yang dapat meberikan gambaran kita terhadap ide yang ditulis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih banyak Pak Guru berprestasi Lampung. Ditunggu karya-karyamu juga ya.

      Delete
  23. terima kasih mas debi yang sudah memberikan asupan pengetahuan yang penting untuk dikonsumi untuk para generasi muda khususnya guru dan siswa, pendidikan tinggi memiliki peran yang strategis dalam memberikan pengajar teknologi, sekarang tugas guru bukan hanya memberikan informasi tapi bagaimana mengajarkan siswa mengenai cara mengelola informasi setidaknya siswa tersebut memahami mana informasi yang betul dan hoax.

    saya tunggu karya selanjutnya ya Mas hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kembali Aji duta pendidikan FIPP UNY. Sepakat banget tugas guru makin kesini makin berat banget. Makin "maksa" buat terus belajar ya.

      Hehe siap. karya2 dan aksimu di dunia pendidikan juga kunantikan Aji.

      Delete
  24. Iya betul sekali media makin canggih harus pintar2 memanfaatkan dg baik jgn sampai kita terlena dan malah menjerumuskan hal yg negatif

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat Bu Shiska..
      Apa sekrang ini udah ada jenis setan khusus yang tugasnya melenakan kita dari hal bermanfaat beralih ke yang kurang bermanfaat maen mendsos ya. hehe

      Delete
  25. apa yang disampaikan sangat relevan dengan kondisi sekarang, semoga dengan adanya tulisan ini makin banyak pihak yang bisa bersinergi khususnya untuk memaksimalkan gerakan literasi digital

    ReplyDelete
  26. Sangat bermanfaat. Tulisan dengan topik yang aplikatif dan kontekstual semacam ini relevan dengan kehidupan anak muda zaman sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bangga banget direspon sama Lulusan terbaik UNY!, Makasih banyak mas Pras.

      Delete
  27. Sangat setuju dengan statement "melawan brain rot bukan tentang memusuhi teknologi, tapi tentang menyeimbangkan antara akses dan refleksi", sejujurnya ini juga menjadi refleksi pada diri sendiri yang mengalami penurunan fokus berpikir, dan juga masih mencari cara untuk tidak terlalu impulsif terhadap gawai. Upaya yang tertera pada tulisan ini juga menjadi solusi dasar sebagai bentuk batasan agar memilah-milah hiburan yang bersifat edukatif atau tidak. Ditunggu tulisan berikutnyaa Mas Debi (:

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Mbak. Semangat berjuang diposisi kita masing-masing. Yaps kita mulai dari diri kita sendiri dulu baru nantinya bisa berdampak disekeliling kita. Semoga Allah menjaga kita dari segala penyakit digital yang dapat merasuk kedalam jiwa. Aamiin.

      Siap insyaaAllah mbak. Nulis tentang lumpur lapindo x matematika kali ya mbak. risetnya nanti kesana. wk

      Delete
  28. Fenomena *brain rot* yang meluas di kalangan generasi muda akibat paparan berlebihan terhadap konten digital dangkal mengurangi daya pikir, fokus, dan kemampuan berpikir jangka panjang. Untuk mengatasinya, diperlukan *literasi digital*, yang bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan kritis dalam memilah informasi. Literasi ini diharapkan membantu generasi muda menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas, menghindari konsumsi hiburan instan yang memperburuk *brain rot*. Solusi seperti membatasi waktu layar dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis relevan untuk individu dan lembaga pendidikan, agar dapat menciptakan ekosistem yang mendukung kecerdasan digital. Literasi digital harus menjadi bagian integral dari pendidikan, meski implementasinya masih menghadapi tantangan besar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat kang Siddiq. thank you banyak responnya.

      Saya simak kemarin temen2 penggerak tubaba juga habis kolaborasi sama komdigi ya, bahas soal digital2 gitu. Itu jadi salah satu langkah kongkrit memerangi brain root juga menurutku. lanjutkan kang!

      Delete